Ibnu Hazm-Serial Sang Pemikir Ekonomi Syariah Dunia Bagian 4
published 25/09/2020 - 5 Min Read

Ibnu Hazm – Serial Sang Pemikir Ekonomi Syariah Dunia (Bagian 4)

Ketika Muslim membiarkan pelanggaran syariat, Ibnu Hazm kembali pada interpretasi literal dalil dalam menentukan pendapat, termasuk dalam masalah ekonomi.

Latar Belakang Ibnu Hazm

Ibnu Hazm tumbuh dan menerima pendidikan awalnya dari istana keluarganya di Cordoba, Andalusia.

Terlahir di keluarga terpandang di mana ayahnya menjadi seorang Wazir pemerintahan (jabatan penasihat kesultanan, baik untuk urusan agama maupun politik, yang terlibat langsung dalam administrasi negara atau politik praktis) di zaman Bani Umayyad yang menguasai Andalusia, Ibnu Hazm tumbuh dengan ekspektasi yang tinggi dari keluarganya.

Ia besar di istana keluarganya dan terlindung dari pengaruh tempat tinggalnya saat itu, kota Cordoba, yang sudah metropolis. Setelah ibunya meninggal di usianya yang masih sangat muda, ia kemudian diasuh oleh berbagai perempuan terpelajar yang mengajarinya berbagai hal: menulis, membaca, apresiasi terhadap syair Arab, tafsir Quran, dan sebagainya.

Ketika memasuki usia baligh, ia kemudian diasuh oleh seorang ulama yang membimbingnya untuk menuntut ilmu secara intensif, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Ia mulai mempelajari hadis dan fiqih di usia 16 tahun, dan kemudian banyak mengembara ke luar negeri, misalnya ke Maroko, untuk menyerap berbagai ilmu.

Ibnu Hazm sempat berkarir di dunia politik praktis. Mengikuti jejak ayahnya, ia pun menjadi Wazir pemerintahan selama tiga periode kekhalifahan yang berbeda.

Namun, setelah dinasti Umayyah, penguasa di Andalusia, tumbang karena kelemahan pemimpinnya dan berbagai faktor lainnya, ia kembali memilih untuk fokus mengembangkan karir sebagai penulis dan pengajar. Keputusannya untuk menekuni dunia intelektual menjadi keputusan yang benar untuknya. Ibnu Hazm kini mengukir catatan tersendiri di dalam perkembangan intelektualisme di dunia Islam.

Dalam memilih pemikiran, Ibnu Hazm adalah salah satu ulama yang mempelopori madzhab Zhahiri di Andalusia. Beliau salah satu peletak dasar pemikiran di zaman-zaman awal terkenalnya madzhab ini. Kini, madzhab Zhahiri yang sempat menyebar selama ratusan tahun ini sudah melebur menjadi madzhab Hambali. Madzhab ini memilih untuk menginterpretasikan hukum Islam dan ketentuan agama dengan secara literal (arti harafiahnya) bersandar pada teks-teks Quran dan hadis. Ia tidak setuju dengan adanya metode qiyas (pemisalan) dan ray’i (pendapat pribadi) dalam menentukan fiqih.

Alasan Ibnu Hazm memilih pemikiran ini berangkat dari kondisi sosial dan lingkungan masyarakat di tempatnya saat itu. Menjelang keruntuhan dinasti Umayyah di Andalusia, masyarakatnya sangat “longgar” dalam mematuhi syariat. Bukan hanya pemerintahnya yang lemah secara politik, namun juga menzalimi rakyat dengan melakukan pungutan yang berlebihan kepada masyarakatnya, ulamanya banyak yang tunduk dengan penguasa, dan berhenti melakukan fungsi penasihat (amar ma’ruf nahi munkar) yang harusnya dilakukan.

Berlatarbelakang analisanya yang melihat bahwa umat Muslim sudah terlalu bebas, dan membiarkan hal-hal yang sudah jelas melanggar syariat, menyebabkan ia akhirnya memilih untuk kembali kepada interpretasi tradisional dan literal harafiah Quran dan Hadis dalam menentukan keputusan.

Karena pendiriannya ini, Ibnu Hazm banyak dimusuhi oleh orang-orang di sekitarnya. Kebanyakan masyarakat Andalusia menganut madzhab Maliki yang tidak terlalu literal dalam mengambil pendapat. Namun, ia tetap tidak melepaskan pemikirannya dan bersikukuh kepada pendapatnya.

Sang Pemikir #4: Ibnu Hazm dan Pemikirannya Tentang Ekonomi Syariah

Ibnu Hazm melarang keras penyewaan tanah dan mengajukan alternatif pemanfaatan lainnya.

Salah satu contoh pendiriannya yang literal bersandar kepada dalil dan teks Quran – Hadis bisa dilihat dari pendapatnya yang menentukan bahwa penyewaan tanah adalah hal yang tidak boleh dilakukan dalam Islam, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:

Dari Rafi’ bin Khudaij r.a.,ia berkata: “Rasulullah saw melarang penyewaan tanah”

(Riwayat Bukhari).

Dari Jabir bin Abdillah r.a., ia berkata: “Rasulullah saw melarang pengambilan upah atau bagian tertentu dari tanah”.

(Riwayat Muslim).

Dari Abu Hurairah r.a.,ia berkata: “Rasullah saw bersabda: “Barang siapa memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya. Jika ia menolak, tahanlah tanah tersebut”.

(Riwayat Muslim)

Ibnu Hazm menuliskan pendapatnya seperti ini:

“Menyewakan tanah sama sekali tidak diperbolehkan, baik untuk bercocok tanam, perkebunan, mendirikan bangunan, ataupun segala sesuatu, baik untuk jangka pendek, jangka panjang, maupun tanpa batas waktu tertentu, baik dengan imbalan dinar maupun dirham. Bila hal ini terjadi, hukum sewa-menyewanya batal selamanya.”

“Dalam persoalan tanah, tidak boleh dilakukan kecuali muzara’ah (penggarapan tanah) dengan sistem bagi hasil produksinya atau mugharasah (kerjasama penanaman). Jika terdapat bangunan pada tanah itu, banyak atau sedikit, bangunan itu boleh disewakan dan tanah itu ikut pada bangunan tetapi tidak masuk dalam penyewaan sama sekali”.

Pendapatnya bersandar pada pemahaman bahwa tanah adalah milik Allah, dan ciptaan-Nya. Manusia hanya bisa memanfaatkan, dan mengklaim kepemilikan dan penguasaannya, namun tidak mutlak.

Di samping itu, larangan penyewaan tanah dan alternatif bagi hasil yang diajukan oleh Ibnu Hazm, menciptakan iklim bekerja dan berusaha yang lebih baik bagi orang-orang yang tidak mampu dengan risiko kecil dalam menangggung kerugian akibat bencana alam atau penyakit sehingga gagal panen. Dengan seperti ini, keuntungan akan dinikmati bersama, dan begitu pula sebaliknya, risiko kerugian dan kegagalan panen dipikul bersama.

Hal ini berbeda dengan kebanyakan pendapat ulama lainnya, termasuk Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Al-Syafi’i dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani.

Contoh lainnya pendapat Ibnu Hazm yang secara literal mengambil dari Al-Quran dan Hadis adalah tentang jaminan bantuan sosial untuk orang-orang kurang mampu dan pengentasan kemiskinan di masyarakat.

Ia berpendapat bahwa orang kaya wajib memenuhi kewajiban sosial lainnya di luar pembayaran zakat. Hal tersebut adalah sebagai bentuk kepedulian dan tanggungjawab sosial mereka terhadap orang miskin, anak yatim, dan orang yang lemah atau tidak mampu secara ekonomi.

“Orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri wajib menanggung kehidupan orang-orang fakir miskin diantara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (bait al-mal) tidak cukup untuk mengatasinya, orang kafir miskin itu harus diberi makanan dari bahan makanan semestinya, pakaian untuk musim dingin dan musim panas yang layak, dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas matahari, dan pandangan orang-orang yang lalu lalang”.

Hal tersebut berangkat dari pandangannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai berikut:

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.

(QS. Surah Al Isra’ 17: 26)

Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.

(Qs. An-Nisa, 4: 36)

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?”

Mereka menjawab: Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin”.

(Qs. Al-Mudatsir, 74: 42-44)

Ibnu Hazm melihat hak-hak yang disebutkan oleh Allah di dalam Al-Quran sebagai kewajiban orang-orang kaya di dalam suatu negeri, jika Baitul Maal tidak lagi cukup untuk memenuhinya.

Hak yang mesti dipenuhi tersebut antara lain adalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi sandang, pangan, dan papan, yang layak dan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Hak tersebut adalah bagian dari hak asasi manusia, yang menjadi tanggung jawab sosial bersama-sama untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh umat manusia. Orang miskin harus dibantu untuk bisa terbebas dari kemiskinan yang membelenggu.  

Referensi:

Choriyah, “Pemikiran Ekonomi Ibnu Hazm”, Islamic Banking Volume 2 Nomor 1 Agustus 2016

Sumber foto:

Unsplash

Serial Sang Pemikir Ekonomi Syariah Dunia

Kajian ekonomi syariah sudah bukan menjadi kajian yang asing dan baru, atau terpisah dengan semangat keagamaan di dunia Islam. Sejarah mencatat bahwa selalu ada ulama di tiap zaman yang membawa pemikiran yang mendalam tentang konsep ekonomi syariah dan implementasinya.

Lewat Serial #SangPemikir, ALAMI akan menghadirkan kisah para sang ekonom Muslim di zaman awal, yang membawa pemikiran-pemikiran segar tentang memaknai hukum Allah di ranah ekonomi dan keuangan.

Semoga dengan sajian artikel ini, kita jadi lebih paham bahwa ekonomi syariah sebenarnya sudah berkembang dari zaman ke zaman, and we are standing on the shoulders of giants!

Lihat Bagian 1: Al-Syaikh Muhammad Abduh di sini

Lihat Bagian 2: Imam al-Ghazali di sini

Lihat Bagian 3: Ibnu Taimiyah di sini

Platform peer-to-peer financing syariah ALAMI mempertemukan UKM dengan pendana. Teknologi kami menganalisa ratusan data untuk menghasilkan pembiayaan yang memiliki kualitas dan kredibilitas yang baik. Daftar sekarang untuk menjadi pendana ALAMI dan nikmati kemudahan proses pembiayaan syariah yang lebih efisien, akurat dan transparan.

Bayu Suryo Wiranto

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments