09/09/2020 -
3 Min Read
Ghanimah
Dalam terminologi fikih, ghanimah merupakan harta yang diperoleh dari musuh Islam melalui peperangan dan pertempuran yang dimana pembagiannya diatur oleh agama.
Apabila dilihat dari sejarah perang, kebiasaan ini telah dikenal sejak zaman sebelum Islam atau pada zaman jahiliah. Adapun, bentuk-bentuk harta rampasan yang diambil bisa berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, ataupun tawanan perang, dan akan dibagikan kepada orang yang ikut serta berperang dengan bagian terbesar untuk pemimpin.
Namun, setelah Islam masuk adat kebiasaan yang sudah berjalan jauh ini pun dikukuhkan dan dinyatakan sebagai harta yang halal, tentunya dengan perbaikan-perbaikan dalam cara pembagiannya.
Landasan Hukum Ghanimah
Mengambil harta melalui jalan perang ini hukumnya halal dan diperbolehkan dalam Islam. Hukum halalnya mengambil harta melalui jalan perang ini terdapat dalam sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah yang artinya:
“Allah memberi saya lima hal, yang nabi-nabi sebelum saya tidak mendapatkannya….Dijadikan bagiku bumi ini sebagai tempat sujud dan suci, maka di mana saja seseorang dari umatku dipanggil salat, maka salatlah dan dihalalkan bagiku ghanimah, sementara bagi umat sebelumku tidak dihalalkan…”
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ditetapkan bahwa jenis harta yang boleh diambil oleh pasukan Islam yang telah memenangkan peperangan adalah harta bergerak saja. Alasannya, harta bergerak inilah yang sesuai dengan ‘urf (kebiasaan).
Penegasan Umar untuk hanya mengambil harta yang bergerak terlihat dari kandungan suratnya kepada Sa’ad bin Abi Waqqas (Panglima perangnya dalam menaklukkan Irak). Dalam surat tersebut Umar secara tegas menginstruksikan agar ghanimah yang diambil hanya yang berupa harta bergerak, tidak termasuk tanah mereka. Dalam kaitan ini ucapan Umar yang sangat terkenal adalah: “Kalau seluruh harta dan kekayaan mereka (bergerak dan tidak bergerak) diambil, lalu dengan apa mereka hidup?”
Aturan Pembagian Ghanimah
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta yang diperoleh dari peperangan itu harus di bagi ke wilayah Islam. Alasannya adalah karena pemilikan harta yang diperoleh dari peperangan ini tidak sempurna kecuali setelah dibawa ke wilayah Islam.
Berbeda dengan jumhur ulama (Mazhab Syafi’I, Maliki, dan Hanbali), ulama Mazhab Az-Zahiri, ulama Syiah Zaidiah dan Imamiah berpendapat bahwa imam boleh membagi harta yang diperoleh dari peperangan di wilayah musuh, dengan alasan Nabi SAW melakukan hal yang demikian pada Perang Hunaian (HR. Bukhari dan Tabrani) dan perang Bani Mustaliq (HR. Baihaqi).
Adapun, alasan yang dianut jumhur ulama adalah firman Allah SWT pada surat Al-Anfaal [8] ayat 41 dan 69. Ayat 41 surat itu secara jelas memuat siapa saja yang akan mendapatkan ghanimah tersebut.
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil (orang yang terlantar di perjalanan)…”
Dengan demikian, yang dibagi-bagikan kepada para pasukan yang ikut berperang adalah empat perlima harta. Seperlima bagian lainnya dibagi kepada pihak-pihak yang dicantumkan Allah SWT dalam ayat di atas.
Di samping itu, ulama juga sepakat bahwa harta rampasan yang sudah dikuasai dan belum dibawa ke wilayah Islam yaitu berupa barang konsumsi (makanan dan minuman), boleh dimanfaatkan, termasuk kayu bakar.
Alasan yang dianut jumhur ulama adalah firman Allah SWT pada surat Al-Anfaal ayat 69 yang artinya:
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik dan bertakwalah kepada Allah…”
Sejalan dengan itu Ibnu Umar berkata, “Dalam salah satu peperangan kami memperoleh madu dan anggur, kemudian kami makan dan tidak kami bagi-bagi.” (HR. Bukhari)
Menurut Mazhab Hanafi, pembagian tersebut untuk memenuhi kebutuhan umum para tentara baik kaya maupun miskin. Apabila di luar barang-barang konsumtif itu, ulama juga sepakat bahwa harta itu tidak boleh dimanfaatkan oleh tentara, apabila terdapat harta ghanimah, seperti senjata atau hewan, yang tidak mungkin dibawa ke wilayah Islam karena adanya kesulitan tertentu, maka tentara Islam diperintahkan untuk menyembelih dan merusak senjata itu. Hal itu dimaksudkan agar barang-barang itu tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh musuh.
Sumber:
https://republika.co.id/berita/q4x2rr430/mengenal-ghanimah
https://republika.co.id/berita/mc2pi8/aturan-islam-tentang-harta-rampasan-perang-3
https://republika.co.id/berita/mc4eb9/aturan-islam-tentang-harta-rampasan-perang-5