Tekan "Esc" untuk Menutup
13/10/2020 -
3 Min Read
Rahn
Dalam islam rahn merupakan sarana saling tolong menolong (ta’awun) bagi umat Islam tanpa adanya imbalan jasa. Secara etimologi, kata rahn memiliki arti tetap, kekal, dan jaminan. Sedangkan, secara terminology rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagaian piutangnya. Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau lebih kita kenal dengan istilah gadai.Dasar Hukum Rahn
Menurut Fatwa DSN MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002, terdapat beberapa dalil yang menjelaskan mengenai rahn, diantaranya:- Firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 283
“Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang…”
- Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah r.a., ia berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”
- Hadis Nabi riwayat al-Syafi’i, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda:
“ Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.”
- Hadits Nabi riwayat Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’I, Nabi s.a.w. bersabda:
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan.”
Ketentuan-Ketentuan dalam Rahn
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan Yang Disertai Rahn, terdapat beberapa ketentuan diantaranya:Ketentuan Hukum
Semua bentuk pembiayaan penyaluran dana Lembaga Keuangan Syariah (LKS) boleh dijamin dengan agunan (Rahn) sesuai ketentuan dalam fatwa ini.Ketentuan Terkait Barang Jaminan (Marhun)
- Barang jaminan (marhun) harus berupa harta (mal) berharga baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang boleh dan dapat diperjualbelikan, termasuk aset keuangan berupa sukuk, efek syariah atau surat berharga syariah lainnya;
- Dalam hal barang jaminan (marhun) merupakan musya’ (bagian dari kepemilikan bersama part of undivided ownership), maka musya ‘ yang digadaikan harus sesuai dengan porsi kepemilikannya;
- Barang jaminan (marhun) boleh diasuransikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau kesepakatan.
Ketentuan Terkait Akad
- Pada prinsipnya, akad rahn dibolehkan hanya atas utang-piutang (al-dain) yang antara lain timbul karena akad qardh, jual-beli (al-bai’) yang tidak tunai, atau akad sewa-rnenyewa (ijarah) yang pembayaran ujrahnya tidak tunai;
- Pada prinsipnya dalam akad amanah tidak dibolehkan adanya barang jaminan (marhun); namun agar pemegang amanah tidak melakukan penyimpangan perilaku (moral hazard), Lembaga Keuangan Syariah boleh meminta barang jaminan (marhun) dari pemegang amanah (al-Amin, antara lain syarik; mudharib, dan musta j’ir) atau pihak ketiga.
- Barang jaminan (marhun) dalam akad amanah hanya dapat dieksekusi apabila pemegang amanah tal-Amin, antara lain syarik, mudharib, dan musta ‘jir) melakukan perbuatan moral hazard, yaitu:
- Ta ‘addi (Ifrath), yaitu melakukan sesuatu yang tidak boleh/tidak semestinya dilakukan;
- Taqshir (tafrith), yaitu – tidak melakukan sesuatu yang boleh/semestinya dilakukan; atau
- Mukhalafat al-syuruth, yaitu melanggar ketentuan-ketentuan (yang tidak bertentangan dengan syariah) yang disepakati pihak-pihak yang berakad;
Ketentuan Terkait Penyelesaian Akad Rahn
- Akad Rahn berakhir apabila pihak yang berhutang melunasi utangnya atau menyelesaikan kewajibannya.
- Dalam hal Rahin tidak melunasi utangnya atau tidak menyelesaikan kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Murtahin wajib mengingatkan/memberitahukan tentang kewajibannya;
- Setelah dilakukan pemberitahuan/peringatan, dengan memperhatikan asas keadilan dan kemanfaatan pihak-pihak, Murtahin boleh melakukan hal-hal berikut:
- Menjual paksa barang jaminan (marhun) sebagaimana diatur dalam substansi fatwa DSN-MUI Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (ketentuan ketiga angka 5); atau
- Meminta Rahin agar menyerahkan marhun untuk melunasi utangnya sesuai kesepakatan dalam akad, di mana penentuan harganya mengacu/berpatokan pada harga pasar yang berlaku pada saat itu. Dalam hal terdapat selisih antara harga (tsaman) jual marhun dengan utang (dain) atau modal (ra’sul mal), berlaku substansi fatwa DSN-MUI Nomor: 25/DSN-MUIIIII/2002 tentang Rahn (ketentuan ketiga angka 5).
Bayu Suryo Wiranto
Subscribe
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments