Perhatian Al-Syaibani seputar kehidupan ekonomi syariah banyak berpusat kepada pembagian kerja di masyarakat Muslim. Ia dikelilingi oleh keadaan masyarakat di sekitarnya yang sangat zuhud, tidak memikirkan kehidupan duniawinya. Berbeda dengan apa yang diamatinya tersebut, ia berpendapat bahwa bekerja untuk mendapatkan penghasilan adalah hal yang penting.
Latar Belakang Al-Syaibani
Al-Syaibani lahir di ibukota Irak pada zaman pemerintahan Bani Muawiyyah (sekitar 750 Masehi). Ia dan ayahnya kemudian pindah ke Kufah, pusat intelektual Irak pada masa tersebut. Ia mendapatkan nama Al-Syaibani, karena ayahnya yang berasal dari negeri Syaiban di wilayah Jazirah Arab.
Ia sempat belajar kepada Abu Hanifah, sang penyebar madzhab Hanafi, selama dua tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Di Kufah itulah, Al-Syaibani memahami tentang pengambilan keputusan dan pendapat fiqih melalui metode ray’i yang bersandarkan pada akal pikiran. Ia juga mendalami sastra, seni bahasa syair, dan tata bahasa. Selain itu, ia juga mendalami berbagai ilmu agama lainnya, seperti tafsir Quran, hadis, dan fiqih.
Gurunya bukan hanya Abu Hanifah. Ia adalah murid dari Abu Yusuf, yang akhirnya menjadi Hakim Agung di wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah. Kemudian, ia juga sempat belajar kepada Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki. Gurunya yang lain adalah Sufyan Ats-Tsauri, ulama besar kelahiran Kufah yang sering disebut sebagai ulama yang sebenarnya di zamannya, “pemimpin orang beriman dalam hal hadis”, dan seorang ahli fiqih, ahli ijtihad, dan seorang sufi. Salah satu kutipan ucapan Sufyan Ats-Tsauri yang termasyhur adalah “tunaikanlah zakat hadis: engkau mengamalkan lima hadis dari setiap dua ratus hadis”.
Al-Syaibani pernah tinggal di Baghdad, pusat kekuasaan dinasti Abbasiyah. Setelah Abu Yusuf wafat, Khalifah Harun Al-Rasyid, khalifah kelima dinasti Abbasiyah, meminta Al-Syaibani untuk menduduki posisi sebagai hakim di kota Riqqah, Irak. Al-Syaibani sempat menjalaninya, namun dalam waktu singkat, ia menyatakan ingin kembali ke kesehariannya sebagai penulis dan pengajar.
Sang Pemikir #5: Al-Syaibani dan Pemikirannya Tentang Ekonomi Syariah
Al-Syaibani banyak menaruh perhatian tentang pembagian kerja di masyarakat Muslim. Ia dikelilingi oleh keadaan masyarakat di sekitarnya yang sangat zuhud, banyak yang tidak memikirkan kehidupan duniawinya. Sementara, ia berpendapat bahwa bekerja untuk mendapatkan penghasilan adalah hal yang penting. Memenuhi kebutuhan wajib seorang manusia adalah hal yang penting.
Lebih ekstrim lagi, ia justru berpendapat bahwa seseorang akan terjerumus kepada dosa jika mereka tidak berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang menjadi kebutuhan dasar semua manusia: makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Ia melihat manusia adalah ciptaan yang pertumbuhannya dan kecukupannya sangat tergantung pada adanya empat hal tersebut.
Ia menyerukan, bahwa semua orang harus berusaha agar mereka memiliki kecukupan, baik untuk dirinya maupun untuk keluarga. Walaupun menyadari bahwa menjadi kaya akan berpotensi untuk mendorong manusia untuk hidup dalam kemewahan, ia tidak menentang orang untuk hidup lebih dari cukup, asalkan semuanya dari hal yang dihalalkan dan digunakan untuk kebaikan dan bukan untuk hal-hal yang menzalimi orang lain.
Ia melihat bahwa pendistribusian kerja di masyarakat mempunyai dua jenis, ada yang fardhu ain dan fardhu kifayah. Beberapa usaha perekonomian dihukum fardhu kifayah karena jika telah ada yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan bisa berjalan meski tidak semua orang menjalankannya. Sementara, ada juga usaha perekonomian yang mendapat hukum fardhu ‘ain karena mutlak harus dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggungnya.
Bekerja menurut Al-Syaibani adalah hal yang menunjukkan ilustrasi bahwa antara manusia adalah saling membutuhkan dan saling melengkapi. Orang kaya membutuhkan tenaga orang yang miskin. Sementara orang yang fakir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya membutuhkan orang kaya untuk memberikannya pendapatan melalui bekerja. Jika orang-orang menyadari bahwa mereka sedang melakukan tolong-menolong ini, maka mereka pun akan lebih mudah beribadah.
Al-Syaibani yakin bahwa dengan niat seperti ini, maka mereka pun masing-masing akan diganjar sesuai dengan niatnya untuk melakukan kebaikan tolong-menolong sosial ini. Bekerja seperti itu adalah objek ekonomi yang mempunyai dua nilai: nilai relijiusitas dan nilai ekonomis.
Referensi:
Sumber foto:
Serial Sang Pemikir Ekonomi Syariah Dunia
Kajian ekonomi syariah sudah bukan menjadi kajian yang asing dan baru, atau terpisah dengan semangat keagamaan di dunia Islam. Sejarah mencatat bahwa selalu ada ulama di tiap zaman yang membawa pemikiran yang mendalam tentang konsep ekonomi syariah dan implementasinya.
Lewat Serial #SangPemikir, ALAMI akan menghadirkan kisah para sang ekonom Muslim di zaman awal, yang membawa pemikiran-pemikiran segar tentang memaknai hukum Allah di ranah ekonomi dan keuangan.
Semoga dengan sajian artikel ini, kita jadi lebih paham bahwa ekonomi syariah sebenarnya sudah berkembang dari zaman ke zaman, and we are standing on the shoulders of giants!
Lihat Bagian 1: Al-Syaikh Muhammad Abduh di sini
Lihat Bagian 2: Imam al-Ghazali di sini
Lihat Bagian 3: Ibnu Taimiyah di sini
Lihat Bagian 4: Ibnu Hazm di sini
Platform peer-to-peer financing syariah ALAMI mempertemukan UKM dengan pendana. Teknologi kami menganalisa ratusan data untuk menghasilkan pembiayaan yang memiliki kualitas dan kredibilitas yang baik. Daftar sekarang untuk menjadi pendana ALAMI dan nikmati kemudahan proses pembiayaan syariah yang lebih efisien, akurat dan transparan.