Powered by ALAMI Institute
Surat utang atau yang biasa disebut sebagai obligasi merupakan pilihan investasi yang menarik banyak investor karena beberapa keunggulan yang dimilikinya, antara lain karena pengembaliannya yang cukup stabil dan risikonya yang cukup rendah. Namun, obligasi dalam skema konvensional sendiri belum berhasil memenuhi nilai-nilai syariah.
Keuangan Islam sendiri telah mengajukan solusi untuk mereka yang ingin berinvestasi lewat obligasi syariah, yaitu dengan inovasi produk sukuk.
Artikel ini akan menjelaskan seluk-beluk sukuk sebagai obligasi syariah, mulai dari definisi, perbedaannya dengan obligasi konvensional, prinsip pembagian keuntungannya, serta macam-macam sukuk yang bisa didapatkan di Indonesia.
Definisi Sukuk sebagai Obligasi Syariah
Obligasi syariah (Islamic bonds) atau yang lebih dikenal dengan sebutan sukuk ini merupakan sertifikat atau bukti kepemilikan.
Menurut Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13, Sukuk adalah “efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share) atas:
- aset berwujud tertentu (ayyan maujudat);
- nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul ayyan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada;
- jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada
- aset proyek tertentu (maujudat masyru’ muayyan); dan atau
- kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah)”
Perbedaan Antara Obligasi dan Obligasi Syariah (Sukuk)
Dilansir dari laman ojk.go.id, sukuk merupakan salah satu Efek Syariah yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi. Sukuk bukanlah surat hutang, tetapi melainkan sebagai bentuk bukti kepemilikan bersama atas suatu aset, jasa, proyek atau investasi. Setiap sukuk yang diterbitkan harus mempunyai aset yang dapat dijadikan dasar penerbitan (underlying asset).
Selain itu klaim kepemilikan pada sukuk dapat didasarkan pada asset atau proyek yang spesifik.
Penggunaan dana sukuk juga harus digunakan untuk kegiatan usaha yang halal.
Imbalan bagi pemegang sukuk dapat berupa imbalan, bagi hasil, atau marjin, dan bukan bunga sesuai dengan jenis akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk.
Perbedaan | Obligasi | Obligasi Syariah (Sukuk) |
Sifat Instrumen | Surat hutang | Penyertaan atas suatu aset |
Underlying asset (asset yang dijadikan sebagai objek atau dasar transaksi dalam kaitannya dengan penerbitan sukuk) | Tidak harus memiliki | Harus memiliki |
Halal | Tidak dibatasi, boleh halal boleh tidak halal | Harus halal dan sesuai dengan prinsip syariah. |
Keuntungan | Mendapat bunga (kupon). | Berupa imbalan bagi pemegang sukuk dapat berupa imbalan, bagi hasil, atau marjin, sesuai dengan jenis akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk. |
Mekanisme | Tidak diawasi oleh Dewan Pengawa Syariah dari DSN-MUI | Diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), selama masa penerbitannya. |
Transaksi | Boleh “memperjual-belikan” obligasi pada harga diskon atau premium. | Dilarang “memperjual-belikan” obligasi syariah pada harga diskon ataupun premium. |
Emiten | Tidak ada batasan jenis emiten yang berhak mengeluarkan obligasinya. | Dikeluarkan oleh perusahaan yang tidak bergerak di industriminuman keras, pengepakan daging non-halal, bank/lembagakeuangan konvensional, perjudian, pornografi dan lainsebagainya. |
Penerbit | Pemerintah, Korporasi | Pemerintah, Korporasi, Special Purpose Vehicle (SPV) |
Investor | Konvensional | Syariah, Konvensional |
Dasar Hukum Obligasi Syariah (Sukuk)
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang Obligasi Syariah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. No. 32/DSN-MUI/IX/2002, yang dijadikan rujukan tentang dasar hukum obligasi syariah (sukuk).
Akad Obligasi Syariah (Sukuk)
1. Murabahah
Merupakan akad yang mengandung transparansi penjual kepada pembeli, dimana dalam menetapkan harga produksi dan keuntungan ditetapkan bersama oleh penjual dan pembeli.
2. Mudharabah
Salah satu pihak menyediakan modal dan pihak lainnya mengelola modal tersebut dalam suatu usaha. Untuk keuntungan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui pada perjanjian sebelumnya, sedangkan untuk kerugian akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak yang menyediakan modal, dikarenakan pihak pengelola modal sudah kehilangan tenaga dan upayanya dalam mengelola modal tersebut.
3. Musyarakah
Berdasarkan perjanjian atau kontrak antara dua belah pihak atau lebih dengan cara menggabungkan modal untuk suatu usaha, baik yang sifatnya baru atau sudah berjalan. Apabila mengalami kerugian maupun keuntungan akan ditanggung bersama sesuai dengan persentase modal yang diberikan di awal.
4. Istishna
Diterbitkan sesuai dengan perjanjian yang dimana pihak terlibat menyetujui untuk membeli ataupun menjual suatu aset, dengan kriteria, persyaratan, dan spesifikasi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
5. Salam
Jual beli dengan sistem pesanan, artinya pengiriman barang tidak secara langsung pada waktu pemesanan tetapi ditunda pada waktu tertentu yang telah disetujui kedua belah pihak.
6. Ijarah
Merupakan pemindahan hak guna suatu barang dengan pembayaran biaya sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang tersebut. Dalam hal ini, maka sertifikat sukuk dengan akad ini beratasnamakan pemilik atau investor serta melambangkan kepemilikan terhadap suatu aset yang bertujuan untuk disewakan.
Produk Obligasi Syariah (Sukuk) di Indonesia
Per Desember 2021 dilansir dari website https://www.idxchannel.com/, terdapat 189 sukuk yang masih berjalan dengan total nominal sebesar Rp34.766.369.902.659, akad yang digunakan pun bervariasi mulai dari ijarah, mudharabah, sampai wakalah.
Untuk dapat melihat data tersebut lebih lanjut bisa mengklik link berikut:
Prinsip dan Karakteristik Obligasi Syariah
Prinsip dan karakteristik obligasi syariah (sukuk) adalah sebagai berikut:
- Obligasi syariah (sukuk) harus berdasarkan konsep syariah yang hanya memberikan imbal hasil kepada pemegang obligasi syariah dalam bentuk bagi hasil atau revenue sharing serta pembayaran utang pokok pada saat sukuk jatuh tempo.
- Jenis industri yang dikelola oleh emiten serta hasil pendapatan perusahaan penerbit obligasi harus halal dan terhindar dari unsur non halal.
- Obligasi Syariah menekankan pendapatan investasi bukan berdasarkan pada tingkat bunga (kupon) yang telah ditentukan sebelumnya, tetapi berdasarkan pada tingkat rasio bagi hasil (nisbah) yang besarannya ditentukan sesuai kesepakatan pihak emiten dan investor sebelum penerbitan sukuk tersebut.
- Pembagian imbal hasil dapat dilakukan secara periodik atau sesuai ketentuan bersama, dan pada saat jatuh tempo hal itu diperhitungkan secara keseluruhan.
- Mekanisme obligasi syariah diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah atau oleh Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI sejak dari penerbitan obligasi hingga akhir dari masa penerbitan obligasi tersebut. Dengan adanya sistem ini maka prinsip kehati-hatian, kehalalan, dan perlindungan kepada investor diharapkan bisa lebih terjamin.
- Apabila emiten melakukan kelalaian atau melanggar syarat perjanjian, maka wajib dilakukan pengembalian dana investor, atau pihak investor dapat menarik kembali dananya.
- Hak kepemilikan obligasi syariah mudharabah dapat dipindah tangan kepada pihak lain sesuai dengan kesepakatan dari akad perjanjiannya.
Prinsip Pembagian Keuntungan dalam Obligasi Syariah (Sukuk)
- Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan persentase dari jumlah modal yang diinvestasikan, melainkan hanya dihitung berdasarkan keuntungannya saja setelah dipotong besarnya modal. Dalam hal ini penghitungan harus dilakukan secara cermat. Setiap keadaan yang membuat ketidak-jelasan penghitungan akan membawa kepada suatu kontrak yang tidak sah.
- Keuntungan untuk masing-masing pihak tidak dapat ditentukan dalam jumlah nominal, misalnya satu juta, dua juta dan seterusnya. Karena jika ditentukan dengan nilai nominal berarti shahib al-mal (pemilik modal) telah mematok untung tertentu dari sebuah usaha yang belum jelas untung dan ruginya. Ini akan membawa pada perbuatan riba.
- Nisbah pembagian ditentukan dengan prosentase, misalnya 60:40%, 50:50% dan seterusnya. Penentuan prosentase tidak harus terikat pada bilangan tertentu. Artinya jika nisbah bagi hasil tidak ditentukan pada saat akad, masing-masing pihak memahami bahwa keuntungan itu akan dibagi secara sama. Karena aturan umum dalam perhitungan ini adalah kesamaan. Akan tetapi tindakan berupa penyebutan nisbah bagi hasil pada awal kontrak adalah lebih baik untuk menghindari munculnya kesalahpahaman. Persentase yang ditetapkan oleh salah satu pihak dianggap cukup.
Macam-macam Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara yang telah diterbitkan oleh pemerintah
1. SBSN IFR
Surat Berharga Syariah Negara Islamic Fixed Rate (SBSN IFR), contoh dari SBSN ini memiliki kode yang berawal dengan IFRxxxx, contohnya IFR0006, IFR0010.
2. SBSN Ritel
Dilansir dari website kemenkeu.go.id, SBSN Ritel adalah produk investasi syariah yang ditawarkan oleh Pemerintah kepada individu Warga Negara Indonesia, sebagai instrumen investasi yang aman, mudah, terjangkau, dan menguntungkan. Contoh dari SBSN ini memiliki kode yang berawal dengan SRxxxx, contohnya SR0007, SR0015.
3. Sukuk Negara Tabungan (Sukuk Tabungan)
Merupakan produk investasi syariah yang ditawarkan oleh Pemerintah kepada individu Warga Negara Indonesia sebagai investasi yang aman, mudah, terjangkau, dan menguntungkan. Jangka waktu sukuk tabungan lebih singkat daripada sukuk ritel. Contoh dari SBSN ini memiliki kode yang berawal dengan STxxxx, contohnya ST0008, ST0011.
4. Sukuk Global
Sukuk yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan menargetkan investor-investor dari luar negeri.
5. SBSN Dana Haji
Dana haji penduduk Indonesia yang menumpuk telah disimpan dengan mekanisme pembiayaan sukuk (obligasi syariah) atau surat berharga syariah negara (SBSN) oleh negara.
Sumber:
Sapto Rahardjo, Panduan Investasi Obligasi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 144-145
Al- Kasani, Badai’ al-Shanai’ fi Tartibi al-Syara’i’· Juz VI, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, hlm. 125
Rafiq Yunus al-Mishri, Al-jami’fi Ushul al-Riba, Beirut: al-Dar al-Syamiyah, 1991, hlm. 376
Al- Kasani, Badai’ al-Shanai’ fi Tartibi al-Syara’i’·… …, hlm. 127