Sang Pemikir Ekonomi Syariah Dunia - Syaikh Muhammad Abduh

Serial Sang Pemikir Ekonomi Syariah Dunia – Bagian 1: Al-Syaikh Muhammad Abduh

Sejarah Islam mencatat khazanah ilmu yang begitu kaya, termasuk juga dalam pemikiran ekonomi syariah. Sejak zaman turunnya wahyu, zaman sahabat Nabi SAW dan generasi selanjutnya, kemudian tahun 798 Masehi dan seterusnya, para ilmuwan Muslim terus hadir membawa kontribusi intelektual untuk pengembangan sistem ekonomi yang bersandar kepada syariat agama.

Lewat Serial #SangPemikir, ALAMI akan menghadirkan kisah para sang ekonom Muslim di zaman awal, yang membawa pemikiran-pemikiran segar tentang memaknai hukum Allah di ranah ekonomi dan keuangan.

Semoga dengan sajian artikel ini, kita jadi lebih paham bahwa ekonomi syariah sebenarnya sudah berkembang dari zaman ke zaman, and we are standing on the shoulders of giants!

Kajian ekonomi syariah sudah bukan menjadi kajian yang asing dan baru, atau terpisah dengan semangat keagamaan di dunia Islam. Sejarah mencatat bahwa selalu ada ulama di tiap zaman yang membawa pemikiran yang mendalam tentang konsep ekonomi syariah dan implementasinya.

Sang Pemikir #1: Muhammad Abduh dan Pemikirannya Tentang Ekonomi Syariah

Ilustrasi: Mesjid Amr bin al-As, “The Old Mosque”, sebuah mesjid di Kairo, Mesir. Syaikh Muhammad Abduh pernah menjadi Mufti Negara di Mesir, jabatan keagamaan tertinggi di negeri tersebut, 1899-1905 Masehi.

Al-Syaikh Muhammad Abduh adalah seorang anak petani yang masih termasuk dalam keturunan Umar bin Khattab. Ia berasal dari Desa Gharbiyah di Mesir dan lahir di tempat tersebut pada 1848 Masehi.

Sempat mengenyam pendidikan agama dari berbagai figur, mulai dari pendidikan tradisional menghafal Al-Qur’an (yang diselesaikannya hanya dalam waktu 2 tahun), sampai mentoring di bawah Jamaluddin Al-Afgani sejak tahun 1872, salah satu aktivis, pemikir Islam, dan jurnalis yang sangat membela kepentingan pan-Islamisme di zamannya.

Dalam belajar teologi, ia cenderung tertarik untuk mempelajari teologi mu’tazilah, sebuah aliran pemikiran di Islam yang mengutamakan logika dan akal pikiran untuk menimbang berbagai ayat Al-Quran dengan lebih liberal, ketimbang mengutamakan tradisi.

Ia sempat diusir dari negerinya karena dituduh terlibat dalam sebuah pemberontakan pada tahun 1882. Namun, setelah kembali ke Mesir di tahun 1889, ia justru mendapatkan jabatan tinggi sebagai penasihat di Mahkamah Tinggi. Kemudian, 10 tahun sejak ia kembali ke Mesir, ia diangkat untuk jabatan keagamaan tertinggi di Mesir, yaitu sebagai mufti negara (ulama yang berhak berperan sebagai pemberi fatwa), sampai wafatnya pada tahun 1905.

Syaikh Muhammad Abduh yang mempunyai ketertarikan untuk mendalami berbagai disiplin ilmu pun juga memiliki pemikirannya tersendiri tentang ekonomi syariah. Ia berpendapat bahwa kekayaan yang tidak dilandasi iman akan membawa pemiliknya hanyut ke dalam kesenangan, dan mengabaikan orang lain yang harusnya disantuni. Sikap penumpukan harta kekayaan dan pengabaikan hak pihak yang seharusnya disantuni ini menurutnya akan dinilai Tuhan sebagai pendustaan agama.

Pendapatnya yang lain adalah terkait uang. Uang menurutnya punya dua fungsi pokok, yaitu sebagai standar harga barang dan memudahkan orang mengadakan penukaran barang-barang. Ia sepakat dengan pandangan al-Ghazali bahwa terciptanya uang adalah karunia Tuhan yang amat besar manfaatnya. Tanpa uang, penaksiran penukaran berbagai jenis barang akan sulit dilakukan.

Ia memandang bank sebagai lembaga keuangan yang sifat utamanya adalah penyimpanan harta orang kaya, sehingga menghambat sirkulasi dan kelancaran arus dagang.  Bila uang yang seharusnya mempermudah kelancaran lalu lintas perdagangan itu menjadi disimpan, ini akan menuju kepada pertanda tercabutnya kemakmuran orang banyak, karena harta tersebut hanya akan dikuras di tangan pemilik harta yang pekerjaannya hanya menumpuk harta di tempat penyimpanan.

Walaupun ia jelas tidak simpatik terhadap kegiatan bank, namun ia tidak menyebut secara tegas bahwa bunga bank itu termasuk riba.

Ia juga mempunyai pemikiran bahwa orang yang menyerahkan harta kepada pihak lain untuk kepentingan usaha, kemudian ditentukan keuntungan tertentu untuk pemilik harta tersebut, maka tidak termasuk riba, meskipun bertentangan dengan kaidah-kaidah fiqih dan pemahaman ulama lain pada umumnya. Karena muamalah seperti itu tetap bisa mendatangkan manfaat, baik bagi pemilik harta maupun bagi pengelolanya. Sedangkan riba hanya menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lain. Karena itu, tidak mungkin hukum kedua hal ini adalah sama dari kaca mata keadilan.

Referensi:

Akurat.co

Sumber foto:

Joakim Honkasalo, Yousef Salhamoud, on Unsplash

Platform peer-to-peer financing syariah ALAMI mempertemukan UKM dengan pendana. Teknologi kami menganalisa ratusan data untuk menghasilkan pembiayaan yang memiliki kualitas dan kredibilitas yang baik. Daftar sekarang untuk menjadi pendana ALAMI dan nikmati kemudahan proses pembiayaan syariah yang lebih efisien, akurat dan transparan.

Artikel Terbaru

Penyesuaian Pemadanan NPWP ke NIK

Berdasarkan terbitnya kebijakan pajak pada PMK 136/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri...

Informasi Peningkatan Keamanan Pendanaan & Penambahan Biaya Layanan

Sebagai bagian dari upaya kami dalam meningkatkan kualitas layanan yang lebih baik,...

Panduan Praktis Mendanai Nyaman dan Menguntungkan di Instrumen P2P Lending Bagi Pendana Pemula

Peer to Peer Lending (P2P Lending) dikenal sebagai salah satu instrumen investasi...

Exit mobile version