kesehatan mental

Kesehatan Mental dan Kaitannya dengan Transaksi Syariah

Di tengah tren meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental, mungkin banyak dari kita yang memahami kesehatan mental semata-mata sebagai ketiadaan penyakit jiwa. Padahal, pemahaman akan kesehatan mental lebih dari itu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai sebuah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang paripurna, tidak hanya ketiadaan penyakit atau kecacatan. 

Dengan demikian, kesehatan mental juga tidak hanya ketiadaan penyakit jiwa, namun juga keadaan di mana seseorang menyadari potensi dirinya, dapat menanggulangi tekanan-tekanan yang umum dalam kehidupan, bekerja secara produktif, serta berkontribusi untuk komunitasnya.

Dapat dikatakan bahwa kesehatan mental adalah salah satu aset terpenting yang kita miliki. Dengan keadaan jiwa yang sejahtera, kita dapat mengambil keputusan-keputusan tepat dalam setiap transaksi bisnis yang kita lakukan. Sayangnya, kesehatan jiwa kita juga rawan terganggu akibat tekanan-tekanan yang timbul, termasuk tekanan sosial-ekonomi yang muncul dari utang yang tidak terkelola dengan baik.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Royal College of Psychiatrists mengemukakan bahwa setengah dari orang dewasa yang hidup dengan utang juga harus menghadapi gangguan kesehatan mental, mulai dari kecemasan dan suasana hati yang buruk, hingga penyakit jiwa yang dapat didiagnosa. 

Kesulitan mengelola utang juga dapat menyebabkan gangguan tidur yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hubungan dengan keluarga dan teman, sebagaimana dituliskan Mental Health Foundation dalam situs webnya.

Selain itu, sebuah survei yang melibatkan 10.000 peserta yang diadakan di Inggris Raya menunjukkan bahwa orang-orang yang bergelut dengan utang dua kali lebih rawan terkena gangguan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan yang parah.

Bagaimana Islam Memandang Kesehatan Mental?

Islam menempatkan kekayaan yang sebenarnya bukan semata-mata berupa harta benda, namun kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa yang berupa rasa berkecukupan. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, yang artinya:

“Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446)

Berdasarkan hadits di atas, ustaz Joe Bradford, ulama dan pakar ekonomi dan keuangan syariah asal Amerika Serikat berpendapat bahwa, dalam filosofi Islam tentang kekayaan, salah satu hikmah dan tujuan utama dari aturan dan larangan dalam Islam terkait transaksi bisnis adalah untuk menjaga kedamaian jiwa kita.

“Jika kita menyimpulkan bahwa filosofi Islam terkait kekayaan lebih mengutamakan penjagaan daripada perolehan harta, dan harta kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa, maka penjagaan atas perasaan rida, kestabilan emosi, dan kedamaian jiwa, menjadi hal yang paling penting,” jelasnya dalam sebuah video singkat yang diunggah di dalam akun instagramnya. 

Ia melanjutkan, tiga jenis transaksi yang terlarang dalam Islam, yaitu yang mengandung gharar (ketidakpastian), riba (bunga), atau dzulm (kezaliman), pada akhirnya bertujuan untuk menjaga kedamaian jiwa kita.

Ustaz Joe Bradford memberikan keterangan melalui video Instagramnya.

Gharar dapat menyebabkan perasaan bahwa kita telah ditipu. Riba menimbulkan perasaan bahwa kita telah mengalami paksaan. Dzulm menimbulkan perasaan bahwa kita telah dimanipulasi. Maka dari itu, sangat penting bagi kita sebagai Muslim untuk menghindari hal-hal ini ketika melakukan transaksi bisnis,” tambahnya.

Islam menekankan pentingnya menjaga akal (hifz al-aql) sebagai salah satu tujuan utama syariat, sebagaimana telah dirumuskan oleh para ulama. Maka dari itu, salah satu hikmah dari diharamkannya riba dan transaksi-transaksi lainnya yang terlarang dalam Islam adalah mencegah konflik dan permusuhan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kedamaian jiwa kita.

“Walaupun pandangan keuangan Islam banyak didorong oleh larangan, akan tetapi larangan-larangan ini memiliki tujuan yang jelas: untuk menjaga modal emosional, modal sosial, dan modal fisik. Jadi, jika kamu memiliki cara pandang yang sehat dan hubungan-hubungan yang sehat dengan orang lain, kamu akan membuat keputusan-keputusan keuangan yang lebih baik, dan kamu dapat menjaga uang kamu saat ini dan mengembangkannya untuk masa depan,” pungkas ustaz Joe Bradford.

Islam memandang harta sebagai salah satu jalan untuk meraih keridaan Allah. Karenanya, Islam telah mengatur batasan-batasan dalam hal memperoleh dan menjaga harta benda supaya kita tidak melanggar hak-hak orang lain. 

Seiring dengan hijrah finansial yang kita lakukan dari institusi keuangan konvensional ke institusi keuangan syariah, penting  bagi kita untuk menjaga batasan-batasan ini supaya setiap transaksi yang kita lakukan tidak melibatkan kezaliman yang dapat merusak tidak hanya modal fisik namun juga modal emosional dan sosial.

Salah satu cara untuk mengembangkan harta kita  sesuai prinsip-prinsip syariah adalah melalui platform P2P funding syariah dari ALAMI. Pengembangan danamu nantinya untuk mendanai UMKM yang sedang berkembang dan membutuhkan pendanaan untuk operasional mereka. Dapatkan imbal hasil setara 14-16% pa dari pendanaan yang kamu lakukan. Segera lakukan pendanaan di P2P Funding Syariah dari ALAMI, unduh aplikasinya di

 

Artikel Terbaru

Penyesuaian Pemadanan NPWP ke NIK

Berdasarkan terbitnya kebijakan pajak pada PMK 136/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri...

Informasi Peningkatan Keamanan Pendanaan & Penambahan Biaya Layanan

Sebagai bagian dari upaya kami dalam meningkatkan kualitas layanan yang lebih baik,...

Panduan Praktis Mendanai Nyaman dan Menguntungkan di Instrumen P2P Lending Bagi Pendana Pemula

Peer to Peer Lending (P2P Lending) dikenal sebagai salah satu instrumen investasi...

Exit mobile version